Wednesday, July 25, 2007

Filing Cabinet atau Scanner ?

Map dokumen anda sebagian ada di filing cabinet. Tapi berhubung filing cabinet sudah penuh, map dokumen yang lain memenuhi sebagian besar meja kerja anda yang hanya disisakan sedikit ruang untuk taruh gelas. Aneka pernik-pernik kecil oleh-oleh dari teman yang ke luar negeripun akhirnya masuk ke box bekas sepatu, karena tidak ada tempat untuk memajang ini itu. Belum cukup di atas meja, di kolong meja ada sederet map-map dokumen yang jadi tempat menopangkan kaki, untungnya anda tidak terlalu tinggi, ya. Ah gimana kalau orangnya jangkung pasti susah mengatur kaki ketika duduk di kursi anda. Di meja anda, kemanapun anda menghadap, depan belakang, atas ataupun bawah, semua adalah map dokumen dengan segala merek; Bambi, Bantex, Bindex, apa lagi ? Dan anda tidak jadi pesan filing cabinet ke manager karena tidak ada kavling sedikit saja buat meletakkan filing cabinet baru.

Ini baru problem penyimpanan dokumen. Belum lagi kalau anda ingin mencari surat-surat, Purchase Order, Kontrak atau dokumen yang lain. Di tumpukan yang mana yaaa ? Surat itu tahun berapa ,yaaa ? Siapa nama customernya, yaa ? Nomornya berapa, ya ? Pun setelah tahu data-data itu, anda juga akan kesulitan mencari karena bisa jadi dokumen yang anda cari terselip di folder yang salah.

Kalaupun anda tetap senang dengan hal-hal demikian, anda telah menemukan comfort zone di kantor anda sekarang ini. Tapi saya yakin kesenangan anda tidak bertahan lama. Apalagi setelah sepatu baru anda jadi gepeng gara-gara terjepit tumpukan dokumen kontrak yang tebal-tebal itu. Anda tidak jadi nonton di 21Setiabudi di suatu sore, padahal anda sudah janjian sama teman di milist yang baru anda ikut, gara-gara anda harus mencari dokumen yang nyelip entah di mana untuk tender besok pagi. Asma andapun kambuh. Semua jadi berantakan karena hidup dan mati anda bersama tumpukan dokumen.

Kalau mau improve, rasanya hidup anda akan kembali menyenangkan. Map-map lama bisa anda masukkan ke dalam kerdus, tapi seandainya anda butuh, anda tinggal search di komputer anda. Map-map dokumen di atas meja dan di kolong meja berangsur-angsur pindah tempat. Meja kerja anda bisa lebih lega dan bisa pasang foto pacar atau foto keluarga anda. Kemudian kegiatan submit CV di JobsDb mulai anda hentikan.

Sedikit improve, anda cuma butuh satu scanner dokumen agar semua dokumen kertas anda dapat diubah ke format digital. Anda bisa pilih format pdf ataupun dokumen Office. Anda tinggal membuat folder-folder di komputer sesuai dengan folder dokumen kertas anda. Hasil scan dapat anda pindahken ke folder yang sesuai. Jadi misalnya, dokumen Purchase Order yang sudah ditandatangani Board of Directors dapat anda cari dengan cepat, secepat mencari Dokumen kontrak, Invoice atau dokumen lainnya. Tinggal ketik apa yang akan anda cari, tekan tombol search, lalu muncullah semua dokumen yang mengandung kata-kata yang anda ketikkan.

Demikian juga dengan kartu nama.Sebelum kartu nama kolega anda hilang, ada baiknya kartu nama itu anda scan dan datanya dapat diubah ke bentuk Excel ataupun bisa dimasukkan ke Outlook ataupun Outlook Express. Jadi kalau anda harus membuat surat undangan atau surat ucapan selamat tahun baru untuk kolega anda tinggal buat mail merge saja. Tidak perlu input satu-satu. Format kartu nama biasanya yang standar, kalau kartu nama kolega anda terlalu kreatif, biasanya diperlukan proses verifikasi.

Jadi pilih mana ? Pesan filing cabinet baru yang sudah jelas-jelas perlu tempat yang besar, atau beli scanner dan meja kerja anda bersih dari tumpukan dokumen ?

Bagaimana Memilih Scanner yang Sesuai ?

Apakah Komputer Saya Perlu di-Up-Grade ?

Apakah ini yang namanya Managemen Dokumen ?

Lanjut di posting yad.:D

PEnulis Favorit Masa Saya Remaja

Kemana Leila ?
Katanya sih, dia sekarang jadi reporter di Tempo. Saya sudah nggak pernah lagi baca tulisannya., karna saya tidak langganan majalah itu. Sempat beritanya saya dengar ketika ada sinetron Dunia Tanpa Koma. Tapi karena kesibukan ini itu, maka saya sama sekali tidak nonton sinetron yang ditulis olehnya. Kadang-kadang saya ingin juga kejutan kecil, seperti di Kompas Minggu beberapa minggu yll ada tulisan tentang Linda Hoemar, sosok santun yang ketika SMA selalu memakai kaos kaki panjang menutupi betisnya dan tetap pakai rok melebihi lutut, di saat teman-teman yang lain memotong pendek rok mereka. Kapan, ya Leila Chudori, sang reporter itu diwawancara di Kompas juga?

Saya mengenal, dalam tanda petik, Leila Shalika Chudori melalui tulisan-tulisannya yang begitu mempersona masa remaja saya. Kalau remaja sekarang mengenal
Rachmania Arunita dengan chicklit Eiffel I'm in Love, tahun 80an ada Leila Chudori yang aktif menulis di majalah anak-anak dan remaja.

Meski sama-sama di Jakarta, saya nggak pernah ketemu Leila, tapi saya tahu dia mulai menulis kelas lima SD. Ketika SMP tulisannya banyak dimuat di Kawanku. Malah di majalah Kawanku ada halaman khusus buat tanya jawab dengan dia. Dari situ saya tau kalau cita-citanya adalah menjadi dokter. Pengarang favoritnya Arswendo Atmowiloto dan Djokolelono.Leilapun rajin latihan karate.

Kemudian setelah masuk SMA dia aktif menulis di majalah Gadis. Kadang menulis cerpen, cerbung dan sekali-kali ada novelletnya yang jadi sisipan majalah remaja itu. Leila bertutur dengan bahasa Indonesia yang baik, segar dan kadang jenaka. Menurut saya, tokoh Aku atau pemeran utama di tulisannya adalah gambaran tentang sosok dirinya. Sosok remaja tangguh, pintar, riang, baik hati, punya kelompok yang kompak dengannya dan juga punya saingan sombong dan judes yang di akhir cerita jadi teman atau loser.

Leila tambah memukau saya ketika dia ikut semacam camp di Canada. Dia menulis artikel pengalamannya itu dalam beberapa seri di majalah Gadis. Pengalamannya semakin lengkap ketika dia bercerita tentang Pangeran Charles yang datang ke camp tersebut. Sebagai gadis kecil,melihat apa yang diraih Leila di usianya, membuat saya mengidolakan dia.Semuanya saya tahu dari membaca.Lebih duapuluh tahun berlalu. Apa yang saya baca ketika kecil masih mengendap di sela-sela memori-memori lain di otak saya, tiba-tiba pop-up begitu saja mengalir seperti baru kemarin saya membeli majalah Gadis di atas metromini S76 atau di terminal Blok M sepulang sekolah.

Ketika saya ketika lulus SMA,saya mulai kehilangan teman satu satu. Ada yang masuk perguruan tinggi negeri, ada yang swasta, ada yang ke luar negeri, ada yang jadi preman di Blok M, ada pula yang nikah dengan pacarnya. Ketika Leila lulus SMA, saya seperti adik kelas yang dilupakan. Dia pasti sibuk ingin meraih cita-cita jadi dokter. Atau mungkin dia punya back-up cita-cita yang lain. Saya kehilangan Leila seperti saya kehilangan teman-teman yang lain. Leilapun tidak lagi menulis di Gadis.

Setelah Leila, ada satu penulis remaja favorit saya waktu itu . Namanya Oriza Sativa. Hampir tiap terbitan majalah Gadis memuat tulisan segar menawan hati yang ending-nya nggak pernah diduga. Oriza cerita tentang romansa gali Jogja, orang-orang bertatoo yang jadi sasaran tembak di pertengahan 80an. Oriza cerita tentang lelaki yang ditinggal mati tunangannya. Oriza punya banyak cerita yang terasa membekas di hati saya.

Sayangnya, Oriza hanya sempat mampir sebentar di Gadis, karena ada yang lebih sayang dengannya. Pada suatu ketika, Oriza yang kuliah dan kost di Jogja sakit dan tidak tertolong lagi. Kisah hidupnya hampir sama dengan kisah-kisah cerpen yang sering ditulis olehnya. Dia pergi ketika perlahan sedang menapaki tangga kehidupan. Belum sampai puncak, Oriza mati muda.

Selain Leila dan Oriza yang waktu itu 'gue banget', sesungguhnya pengarang wanita yang begitu ingin saya mengumpulkan semua karyanya adalah Nurhayati Srihardini, atau NH Dini. Siapa yang tidak tahu beliau ? Saya baca buku NH Dini berjudul Pada Sebuah Kapal waktu kelas 2 SMP.

Kalau kita ke Gramedia, novel-novel NH Dini masuk dalam katagori 'Sastra'. Yah, dia bukan hanya penulis, dia memang sastrawati yang menurut saya belum ada tandingannya di Indonesia. NH Dini menulis seperti orang sedang curhat. Dari masa muda hingga kini, dia masih konsisten menulis dan menerbitkan kisah fiksinya. Pada seri kenangan yang terbit tahun 2007 ini, dia sangat terbuka bercerita tentang keluarganya. Kadang, di kala mungkin saya bertemu dengannya, ingin saya tanya apa benar ada sebagian atau seluruh kisah Sri, Rina atau juga Hiroko yang jadi pemeran utama di bukunya adalah cerita kehidupannya sendiri. Apakah kisah di La Grande Borne adalah benar-benar kisah hidupnya.

Di bukunya, saya menemukan kegetiran hidup seorang wanita yang senantiasa berusaha tegar, luluh oleh kelembutan hati orang lain yang bukan pasangan resminya. Wanita di tangan NH Dini bukannya sosok superwoman yang nggak butuh laki-laki. Ibu Dini begitu pandai berkata-kata dalam tulisannya, dia tahu bagaimana menyusun kalimat sehingga adegan mesra tidak perlu ditulis detail, yang acap memberi kesan murahan. Dia punya cara yang elegan. Mudah-mudahan Ibu Dini dikaruniai usia yang panjang, yang memungkinkan dia kembali menulis kisah sespektakuler Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko ataupun La Barka.

Salam saya buat Leila dan Bu Dini. Semoga Oriza istirahat dengan damai di sisi-Nya.

Monday, May 21, 2007

Porta Nigra Penjahatnya ??

Kalau ada yang tanya di mana rumah saya, saya jawab di Meruya Selatan. Tapi, kalau merujuk Meruya Selatan sebagai kelurahan, jawaban saya tadi salah. Rumah saya ada di kelurahan Joglo. Saya bilang ada di Meruya Selatan karena kompleks perumahan saya persis di jalan Meruya Selatan.
Iya, saya bicara Meruya yang sama dengan Meruya yang beritanya jadi headline di media-media belakangan ini.

Kompleks saya 'nyaris' jadi korban sengketa tanah, karna memang letak kompleks dengan tanah sengketa cuma dipisah jalan Sa'aba. Rasanya gak percaya kalau di tanah sengketa sudah berdiri perumahan-perumahan milik pejabat, artis, pengusaha, orang-orang kaya atau pegawai pemerintah. Sudah bersertifikat, lagi. Aneh, kan.

Aneh memang, sudah pegang sertifikat resmi yang dikeluarkan negara, tapi tetap jadi pihak yang kalah yang dinyatakan oleh negara pula. Ini memang negara aneh.

Seperti Gubernur DKI, artis2, pengacara dll yang memberi simpati saya juga berikan simpati saya kepada tetangga-tetangga saya yang jadi korban. Saya juga memahami kalau mereka marah sama pihak yang menang. Tetangga-tetangga saya yang tanahnya mau dieksekusi itu bukan pihak yang bersengketa. Tahu tanahnya bersengketa juga baru ini aja. Kalau dulu tahu itu tanah sengketa, siapa mau beli ? Tapi kalau itu tanah sengketa, kenapa sertifikat bisa keluar ?

Sebaliknya, Porta Nigra kasihan juga. Dia udah beli tanah, taunya tanah yang dibeli dijual lagi sama mandornya, pas dinyatakan menang orang-orang pada nyerang dia. Nggak cuma orang-orang biasa, tapi pejabat-pejabat yang bertugas mengurus warga juga ikut menyerang. Porta Nigra juga warganegara Indonesia. Warganegara yang berusaha mendapatkan kepastian hukum atas barang yang dimilikinya. Jadinya … dia korban juga. Korban ketidakbecusan negara mengatur administrasi, korban ketidakpastian hukum yang seharusnya dijunjung tinggi di negara manapun juga.

Sebenarnyapun, dari dulu ke dulu, tanah kan itu itu aja. Ukurannya nggak bertambah atau berkurang secara signifikan kecuali terjadi penciutan diameter bumi yang menyebabkan ukuran luas tanah di permukaan bumi berkurang. Cuma kadang-kadang, kalau tetangga gak lihat, patok tanah digeser-geser jadi ukuran tanah tetangga berkurang (ini bukan nuduh loh karna dulu tanah keluarga saya juga ada yang gerogotin kayak gitu). Perkara sudah dijual, lalu dijual lagi juga bukan baru kali ini. Bisa jadi pihak pembeli misalnya si A menghubungi juragan atau mandor setempat minta dicariin tanah seluas X hektar, mandor dikasih lah duit Rp. sekian. Si mandor kontak penduduk buat jual tanah mereka. Waktu penduduk bilang oke, mandor ngga kasih duitnya. Si A beranggapan itu sudah jadi tanah dia. Karna penduduk nggak dapet dapet duit, waktu si B yang juga pembeli dateng, dijuallah tanahnya ke B. Buat penduduk ya sesederhana itu lah. Ada uang ada barang. Dari situ juga udah bisa ketauan yang nakal siapa.

Semua ini terjadi di negara yang begitu acakadutnya masalah administrasi dan hukum. Belum lagi orang-orang yang mancing di air keruh, kali-kali dapet ikan gabus besar yang bisa dibikin sayur pucung. Lurah, camat sampai gubernur berjuang sampai titik darah penghabisan bantuin warga. Secara emang warganya sebagian besar warga kelas menengah yang bisa ngomong, punya duit, punya pengaruh. Sampai ketua BPN bilang putusan berita sita jaminan dari Mahkamah Agung nggak sah. Yang sah yang seperti apa ya sampai putusan MA dibilang gak sah? Lalu Ketua Pengadilan Negeri yang bilang gak pernah keluarin perintah buat eksekusi. Iya, semua berebut simpati warga. Sedangkan Porta Nigra jadi penjahatnya. Semuanya jadi tidak jelas. Apa sertifikat rumah saya sebenarnya juga bermasalah ? Apa semua putusan MA yang nggak mengenakkan buat kita berarti itu putusan yang salah ? Ya inilah kalau tidak ada penghormatan atas hukum, karna hukum juga bisa dibeli. Apa kita tinggal di negara yang salah ?

Saya bukan anggota DPR atau DPRD yang bisa mendengarkan both sides atau many sides of story. Saya cuma dapat sepenggal dua penggal cerita di koran atau tivi. Tapi tolonglah orang DPR, DPRD, Utusan Golongan , orang-orang pintar di bidang Pertanahan, Administrasi dan Hukum dan lain-lain, tolonglah memberi solusi. Akuilah kalau memang Administrasinya bermasalah. Orang-orang Hukum, berilah keadilan seadil-adilnya. Bukan karena satu pihak lebih berkuasa, maka pihak yang lain dikalahkan. Bukan karena satu pihak uangnya banyak , maka pihak yang lain dibilang salah. Masalah tanah, masalah hukum adalah masalah yang berhubungan dengan Yang Di Atas. Kalau perlu, nonton deh sinetron-sinetron gimana orang mati gak bisa dikubur karena panjang liang lahat selalu kurang dibanding panjang jenasah, itu terjadi gara-gara waktu hidupnya main-main dengan urusan tanah. Atau orang mati gak ada yang mau masukin ke liang lahat karena banyak ular, kalajengking dan teman-temannya sedang berenang di air keruh di dalam liang lahat. Tuh ! Masih kurang serem ?? Gak tau lagi deh gue …..

Negara, akuilah ada kesalahan. Solusinya, nggak mungkin deh bedol desa di kawasan itu. Palingan juga, ya ini dari pikiran sederhana, warga nggak usah pergi, Porta Nigra dapet uang pengganti dari Negara yang nggak becus ngurusin tanah sejengkal dua jengkal. Kalaupun uang penggantinya nggak seharga tanah sekarang, mohonlah diterima karena pasti lebih banyak dari waktu dulu beli. Orang-orang yang bermasalah, main-main dengan tanah, yang cari-cari kesempatan tolonglah diproses dengan seadil-adilnya. Kita pingin semua senyum lega. Yang berhak dapat haknya, yang salah dan korupsi dikasih kavlingnya di penjara.
Semua senang ?? ……

Puri Botanical, Just Say The Simple Truth !

Puri Botanical Residence is the next step of land development in Mega Kebon Jeruk area.

The development plan will be first initiated by building 240 houses in a cluster, and in subsequent phases a total of 12 clusters will be built over a 96 hectare area, with a total of 3,000 units of houses.

The first residential estate in Jakarta with a botanical garden concept, it offers a variety of facilities and features to enhance the joys of living. A commercial center, office buildings, a hotel, apartments, a shopping mall, a traditional market, a national-plus school, integrated access to JORR, and a sports club all set amongst a carefully selected mix of unique floras as cultivated under the expert hands of Kebun Raya Bogor.

Puri Botanical Residence as a residential estate with the biggest green open space in Jakarta provides educational, recreational and environmental benefits for the family. Jardin de paris, English garden, orchard garden, concert lawn, earth mound, sculptural garden, forest walk, jogging track, Chinese garden, and Japanese garden are provided to allow families to discover another meaning to being in nature.

For further inquiries, please contact:

PT Copylas Indonesia
Maisonette Mega Kebon Jeruk Unit 36 -37
Jl. Raya Joglo No. 48
Jakarta, Indonesia

Telephone: (62) (21) 587 - 0077
Fax : (62) (21) 586 - 6688

Tulisan ini saya ambil dari <
http://www.jsi.co.id/projectBotanical.php>

Puri Botanical Residence sedang dibangun persis di depan kompleks perumahan di mana saya tinggal. Saya juga sering membaca iklannya di harian Kompas.Akan ada tempat yang adem, sejuk, hijau, seakan membawa Botanical Garden ke lingkungan Joglo yang dulunya juga sudah hijau, segar dan alami (lihat deh di daerah Joglo banyak banget tukang jualan tanaman).

Sekarang memang lokasi untuk Puri Botanical masih bisa dibilang kering kerontang, apalagi dibanding dengan cita-citanya menghadirkan lingkungan dengan konsep kebun raya yang menjanjikan kawasan hijau yang terbuka. Truk-truk masih mondar-mandir mengeruk atau menimbun tanah. Kawasan Puri Botanical sekarang masih berupa hutan rumput tepatnya.

Saya cuma bisa melihat dari jalan raya, karena akses masuk tertutup kecuali untuk beberapa orang yang sudah punya rumah di kawasan itu. Mungkin privasi sedang dijaga dan dipertahankan di sana sehingga steril dari orang luar. Kalaupun perumahan itu sudah jadi, saya tidak yakin kawasan itu akan tetap disebut sebagai 'biggest green open space in jakarta', karena 'open space'-nya sudah di 'close'. Rasanya saya musti beli dulu kavling di situ biar bisa menikmati jogging track sambil mendengarkan kicauan burung langka ataupun taman-taman bernuansa Jepang, Cina ataupun Inggris.

Dan kalaupun saya beli satu kavling di sana, saya tidak begitu yakin dengan pengembang Puri Botanical itu karena, malam ini ketika saya pulang kantor, saya melihat di perempatan jalan arteri Permata Hijau menuju ke Pos Pengumben ada billboard besar mengiklankan Puri Botanical. Di situ tertulis dari tempat billboard ke lokasi pameran berjarak kurang dari 1 km. Padahal sepengukuran saya, dari perempatan Pos Pengumben ke lokasi Copylas berjarak 3 km. Apa alat ukur yang berbeda ? Alat ukur saya keluaran Toyota. Apa beda kalo ngukurnya pake BMW ? Lucu aja kalau ada pembeli yang udah jalan 1 km kok gak ada apa-apa, jalan 1 km juga gak ada apa-apa, eh baru ketemu pas kilometer ke-3. Untung nggak nyasar !

Yah ini masalah ecek-ecek kali buat mereka. Tiga dibilang satu. Kalau satuannya cm mungkin gak terlalu banya pengaruhnya, tapi bisa juga bikin tembok jadi miring dari ukuran sebenarnya. Tiga dibilang satu mungkin gak terlalu keliatan bedanya, kalo seharusnya masukin 3 zak semen tapi cuman 1 kantong yang dimasukin, apa gak keropos itu rumah ? Tiga dibilang satu bisa jadi hal yang biasa buat mereka. Silakan aja, asal nggak jadi celaka. Asal nggak jebol seperti parkiran ITC Permata Hijau yang sudah makan korban.

Ehhh…btw, ini tanah Copylas temasuk tanah sengketa Porta Nigra gak ya ? …. Anyone can say the truth ?

Wednesday, May 2, 2007

Pempek TOB

Ini kejadian norak yang pernah gue alamin di Plaza Senayan sejak gue berteman sama Dnoy, Uqi, Satria dan Bayu. Mungkin dulu pernah juga sih norak-norakan, jaman muda dulu ….hehehe…tapi kemarin itu, emang norak bener deh dan membuat tengsin .. .ih jadul ya kalo ngomong tengsin, sejadul ring back tone Fren-nya Dnoy.
(Btw, sejujurnya gue sih gak merasa terlalu norak dan tengsin …karna urat norak dan tengsin kayaknya udah mulai gak berfungsi di tubuh gue, gue ngerasanya lucu aja, dan bikin perut puas )

Asalnya dari Bayu yang pada akhirnya pulang kampung bawa oleh-oleh, apalagi kalo bukan pempek dan krupuk ikan. Sebenernya sih tiap minggu Bayu juga pulang kampung, tapi minggu lalu itu dia berbaik hati bawain oleh-oleh dan kita janjian ketemu di Plaza Senayan.

Seperti biasa Dnoy langsung confirm, apalagi denger ada yang mo bawa 'yang panas-panas', tapi dengan catatan gak mau lama-lama. Uqi, Satria dan gue nyusul confirm. Meta juga seperti biasa males-malesan, alasannya kemarin baru dari luar kota, hmm… Meta emang paling pinter cari alasan. Eh tapi kalo dulu sih emang bener dia sakit perut, ya kan Met. Peri katanya sih keluar kota sedangkan Wahban mau rutin cek ke Hermina. Wah sedang expecting something/one ? Guntoro gak ada kabarnya.

Janjianlah kita di Coffe Bean and Tea Leaf. Ternyata gue sedikit nyasar. Gue pikir tempatnya deket parkiran, deket ATM, ternyata salah warung ! He he.. yang ada di pikiran gue ternyata bukan Coffe Bean tapi Coffee Club. Maklumlah gue gak pernah janjian di coffee-coffee an gitu. Huh ..beda dikit tapi lumayan jalannya dari ujung ke ujung.

Singkat kata gue akhirnya menemukan sosok Uqi, Satria dan Bayu di pojokan Coffee Bean. Dnoy juga udah dateng dan sedang pesan kopi. Bayu bawa ransel besar dan tentu saja, sekerdus (indomie) pempek! Udah lama kita gak ketemu, sekalinya ketemu yang diomongin yaaa… seputaran itu deeehhh… you know laaa … apa kabar, pijit, refleksi, pulsa fren yang murah, nyampe-nyampenya yaa ke oleh-oleh Bayu salah satunya dideskripsikan Bayu sebagai suatu jenis pempek bernama Lenjeran yang punya dimensi lingkaran dengan diameter 3 cm dan panjang 25 cm. What is in your imagination, terserah deh .. Yang pasti sih lucu aja cerita lenjeran disambung sama cerita temen Bayu yang istrinya orang Arab. Trus temennya Bayu itu dikasih jamu Arab sama istrinya, biar apa ya gak tau tuh khasiat jamu Arab, katanya sih lebih cespleng dari jamu Madura, bikin lenjeran jadi kayak tiang listrik. Tulalit gak sih …. Udah lama emang gak denger Bayu cerita yang dari dulu emang suka keliatan hiperbol. Udah hiperbol, diasosiasiin ke mana-mana lagi.

Tiba-tiba kita semua terdiam. Bukannya ada setan lewat, ehh.. tapi bisa jadi sih banyak setan lewat di situ, gue kan gak tau, tapi masalahnya bukan itu. Masalahnya, gimana kita makan oleh-oleh itu karna kata Bayu dia sudah nge-pack 60 butir pempek yang harus dihabiskan malem itu juga ! Gila lo ya, Bay. Mo buka kardus di situ ? Aduh… garuk kepala deh … makannya gimana ? Pake apa ? . Kata Bayu, kalo cara orang Palembang makan pempek itu pempeknya dipegang, trus cuko-nya ditaro di gelas kecil kayak sloki gitu, trus setelah pempek dimasukin mulut baru deh tu coko diminumin kayak jadi kuahnya, tapi nyampurnya di mulut. Beda kan sama orang Jakarta yang capurin di mangkok pempek, cuko, irisan timun sama mie segala. Ga ada tuh di Palembang. "Mangkanya gue bilang bawa gelas aqua buat cukonya", kata Bayu.

Masalahnya, kalo buka kardus di situ, pasti orang-orang pada protes. Pingin juga kali. Gue bilang sih kita ke Food Court aja di atas. Kayaknya lebih nyaman buka kardus di sana karna tempatnya lebih terbuka. Semuanya setuju. Maka berbondong-bondonglah kita naik ke lantai 3. Sampai di sana, timbul masalah baru. Makannya gimana ? … atau mau dibagiin di situ trus dimakan di rumah, atau gimana ???? … kenapa sih mikirnya separo-paro, ya …hehehe…. Abis ga ada yang bawa piring sendok .

Untuk lebih jelasnya apa yang dibawa Bayu, kita tanya sekali lagi. "Bay, sebenernya apa sih yang elu bawa ini ? "

"Gini… gue bawa empat lenjeran yang masih mentah sama cuko-nya satu satu. Trus gue juga bawa pempek yang udah digoreng 60 biji dan harus habis malem ini juga !" jawab Bayu.

"Trus bungkus pempek yang udah digoreng itu dan cukonya gimana ? Jadi satu ato dibagi brapa bungkus ?"

" Pempeknya jadi satu. Cukonya jadi satu", jawab Bayu.

Ya udah buka deh … pas dibuka, tambah bingung juga. Materinya tetep sama. Gimana makannya ??

"Gimana kalo kita beli plastik ?" usul siapa tuh ? gue kali ya ….hehehe….sori yah usulnya nyicil satu-satu. Gimanapun kita pasti butuh plastik buat bagi-bagi. Usul diterima. Meskipun Dnoy protes dari bawah ke atas sekarang ke bawah lagi, ntar ke mana lagi ? Sori Noy, Quran aja turunnya seayat-seayat gak langsung satu Kitab.

Berbondong-bondonglah kita dari lantai 3 Food Court ke lantai dasar tempat bersemayamnya Hero buat beli kantong plastik. Tentu aja kardus mirip kardus indomie itu juga dibawa-bawa. Untungnya sih kita semua gak ketemu sama orang yang kenal kali ya. Kalo yang gak kenal trus ngeliatin kan gak masalah, gak kenal ini. Kalaupun ternyata kenal, yang bawa kardus bukan gue ini …. hehehe.

Setelah dapet plastik, segerombolan orang-orang ini bingung lagi. Mo bagiin di mana ya …Mobil gue deh , kata Uqi. Bingung amat yah … padahal itu produk halal. Kalo Gus Dur lewat, dia pasti bilang, Gitu aja kok repot !

Bisa ditebak, berbondong-bondong kita balik lagi ke Food Court ! Kita cari tempat lain, bukan yang tadi kita datengin. Cari yang legaan deh. Akhirnya, Bismilah, kerdus dibuka. Fuiiii… aromanya bikin orang sekitar ngelirik-lirik dikit. Biar gak terlalu tengsin gak jajan apa-apa, Dnoy sama Uqi beli minum dan kentang. Sementara gue sama Satria bagi-bagiin pempeknya, sembari juga ikut makan nyam nyam nyam. Untungnya kita dateng berempat, lenjeran juga ada empat, pas deh buat di rumah.

Enak loh oleh-olehnya, apalagi cukonya gak encer kayak di Jakarta. Cuko atau kuahnya itu kentel, spicy banget. Kata Bayu itu bukan pempek yang paling enak di Palembang, cuman karena packingnya bagus aja jadi dia beli di situ, namanya Candi. Ga masalah kok Bay. Yang lebih enak dan tersedia di airport namanya IP, satu lagi yang enak tapi gak ada di airport namanya Nawa.

Candi , IP , Nawa, terserah deh. Yang pasti malem itu semua puas bawa oleh-oleh Bayu. Ma kasih juga buat ketidakdatangan Meta, Wahban, Peri dan Guntoro . Bayu emang …mak nyuuuusss…..

Oyah… udah tau ring back tone Dnoy yang jadul itu ? Telpon deh ke nomor Fren 088886494sekian sekian.

Wednesday, April 11, 2007

The Late Talker

Ibu-ibu itu paling senang kalo ngomongin anak-anaknya. Udah bisa bicara, udah bisa nyanyi, udah bisa baca, makan gak disuapin, minum susu sendiri, hebat deh. Sementara teman-teman cerita hal demikian, saya juga cerita. Saya bilang, anak gue udah dua setengah tahun tapi baru bisa ngomong bapak doang. Any idea biar bisa ngomong ?
Teman-teman terdiam sesaat, lalu kasih ide. Lu ajak ngobrol dong ! Periksa tuh siapa tau autis !

Orang tua mana yang ga cemas kalau umur segitu belum bisa ngomong. Pertama, pastinya saya tanya dokternya. Dokter Marseno sih tenang-tenang aja setelah meriksa anak saya. Gak pa pa, emang belum waktunya aja, ajak aja ngomong terus meski dia belum bisa nyautin. Lama-lama juga bisa karna ngomong ga bisa dipaksa dan tiap anak beda-beda perkembangannya, kata Pak Dokter sambil tersenyum.

Sama dengan anak-anak yang lain, anak saya juga senang bermain. Kalau saya dan suami lagi ngobrol, dia ikut memperhatikan siapa yang sedang bicara, serius sekali. Dia bisa tertawa-tawa dengan riang tapi dia juga bisa serius di depan laptop seolah-olah sedang melakukan coding. Matanya yang besar dan bulat segera melihat ke orang yang pegang kamera, dan ketika Ketika ada kamera mengarah padanya, dia segera tersenyum. Tapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya kecuali eh …eh…eh…sambil menunjuk sesuatu yang dia mau.

Yah… tapi kan menurut buku-buku acuan, satu tahun udah mulai bisa bicara. Sekian bulan udah bisa ngomong sekian kata. Dua tahun udah bisa nyanyi-nyanyi. Tiga tahun kosa katanya udah semakin banyak . Tapi anak saya… ??

Saya cari-cari info tempat-tempat terapi bicara. Pertama pergi ke Rumah Sakit Islam di Cempaka Putih. Ada sih tempat terapi di sana, cuman kok jauh amat dari Joglo. Ngobrol-ngobrol sama Tedi yang anaknya juga belum bisa bicara, dia bilang kalo terapi di Pela. Daripada ke CPP mendingan ke Pela, lebih dekat dan daerahnya lebih familiar.

Pertama kali datang anak saya diobservasi dulu. Dikasih mainan, disuruh susun-susun balok. Hasilnya dikasih tau kalau kemampuan anak saya masih di bawah standar dan harus dilakukan terapi bicara dan terapi okupasi. Terapi bicara dan okupasi masing-masing 30 menit. Optimalnya dilakukan setiap hari.

Cuma sebulan anak saya terapi di sana. Anak saya marah-marah karena disuruh ngikutin terapisnya berbicara. Saya juga nggak boleh masuk, padahal saya mau tahu diapain aja sih anak gue secara di terapi kan cuma setengah jam, sisanya di rumah bisa diajarin ini itu yang sejalan dengan kegiatan di tempat terapi. Tapi kok ibunya gak boleh masuk ? Sesekali saya dengar terapis bicara keras…hehe..semakin keras dia bicara, semakin nggak mau anak saya buka mulut. Dia lebih suka ikutan terapi okupasi karena banyak bermain-mainnya. Ada banyak permainan yang juga kemudian saya beli biar buat latihan di rumah.

Tapi saya lihat kok nggak efektif amat terapi di sana.Belum bisa bicara itu sama aja sama sakit panas, dua-duanya simptom, gejala yang keliatan. Dokter akan kasih obat yang berbeda untuk penyakit yang beda, meski yang tampak adalah anak sakit panas. Ibu terapis wicara memperlakukan semua anak yang ikutan terapi dengan perlakukan yang sama, meski latar belakang mereka ikutan terapi beda-beda. Nah hal demikian yang saya kurang berkenan di tempat terapi itu tentunya dengan tidak mengurangi rasa hormat dan prihatin saya kepada anak-anak yang menderita keterbelakangan.

Beberapa ada yang bilang kalau anak saya kurang interaksi dengan orang lain, babysitternya terlalu pendiam. Hmm..mungkin ya kurang interaksi. Akhirnya saya dan suami datang ke Kelompok Bermain padahal sudah lewat waktu pendaftaran masuk. Untungnya masih ada tersedia tempat. Anak saya lalu masuk Kelompok Bermain. Selain itu juga saya konsultasi dengan dokter Sofyan yang praktek di belakang Sarinah.

Awalnya, semua guru (ada 3 guru di satu kelas) tidak ada yang ngerti anak saya ngomong apa-apa. Tapi hebatnya, lama-lama anak saya mulai bisa mengucapkan apa yang dia mau. Awalnya cuma saya yang ngerti. Sekarang, Alhamdulillah segala doa dan usaha kami dijawab oleh Allah. kalau anak saya terlalu banyak ngomong dan saya pingin bilang,"psssttt… jangan terlalu banyak ngomong"…. Upss perkataan itu nggak jadi saya ucapkan.. saya langsung ingat betapa dulu cemas gara-gara dia belum bisa bicara, sekarang kok lagi seneng-senengnya bicara disuruh diam. He hehehe….

Terus … apa masalahnya sampai dia belum bisa ngomong waktu itu ? Yaa… belum waktunya aja kali. Mungkin juga otot-otot mulutnya belum siap untuk melakukan aktifitas bicara.Waktu itu saya latih dia tiup lilin, makan permen loly, permainan tiup-tiup kertas, mencong-mencongin mulut ke kiri ke kanan, tiup peluit jadi seperti tukang parkir, juga saya belikan suling.

Hasilnya tidak terlihat keesokan hari. Dibutuhkan kesabaran, kontinuitas, selalu mengkoreksi apa yang belum sempurna diucapkan, juga peluk cium yang hangat dari kedua orang tua.

Wednesday, March 28, 2007

Biar Kreatif

Kenapa harus jatuh cinta, patah hati atau putus asa gak dapet-dapet pacar dahulu untuk bisa lebih kreatif nulis cerita atau bikin puisi, yaa ?? Jaman gak punya cowo, jaman naksir tapi gayung gak bersambut, jaman pedekate-pedekate secara halus atau hampir frontal, jaman tepe kanan tepe kiri, jaman hilir mudiknya laki-laki bodoh yang tidak tahu betapa beruntungnya kalau jadi pacar saya, jaman itu begitu mudah puisi-puisi ditulis. Puitis, indah, mengena di hati bikin gede rasa. Begitu cepat tangan ini menulis tentang hati pilu, kesepian, hujan rintik-rintik, angin sepoi-sepoi, hidup yang kosong, nelangsa atau hati yang berbunga-bunga cuma gara-gara duduk satu bangku di bis waktu pulang sekolah.

Sekarang, ketika hati sudah tenang bersama suami tersayang dan anak-anak yang riang, kenapa harus susah memeras otak buat sekedar bikin blog yang gak guna ini, ya ? Kemana perginya segala romantisme yang bikin orang kreatif untuk tulis-menulis ? Hehe.. jangan kira setelah nikah tidak ada romantisme. Tapi nuansa dan aromanya lebih nyata, aplikasinya jelas, tidak ada tebak-tebak buah manggis, ini orang suka atau cuma meringis; sehingga romantisme yang timbul tidak membuat jantung tak terkendali terpacu kencang, tidak membuat pikiran melayang-layang dengan angan-angan yang membuat terbang ke awang-awang.

Setelah menikah, semua hubungan menjadi jelas, dan mengakibatkan segala apa yang dulu cuma ada di pikiran dan ditumpahkan di tulisan karna kalau tidak ubun-ubun bisa tersumpal, lebih enak langsung dikerjakan. Yaa memang, perasaan ternyata mengalir seperti air, harus ada salurannya. Apabila satu sumbat belum terbuka, maka akan mencari jalan supaya tidak mengganggu keseimbangan hormonal dalam tubuh. Adalah baik sekali kalau saya pilih menulis sebagai jalan keluar, daripada cuma merenung bikin ayam tetangga mati. Apabila ada saluran baru yang lebih baik, lebih besar menampung debit air, dan lebih jelas arah tujuannya, maka air yang mengalir tadipun akan berbelok menuju saluran baru itu. Kira-kira, itu mungkin yang terjadi mengapa saya sekarang susah untuk menulis seperti dulu. Saya gak perlu lagi menulis.Dalam hidup saya semuanya sudah seimbang. Tidak perlu lagi memendam rasa atau gundah gak jelas.

Hmmm... apa saya sedang mencari pembenaran atas apa yang tidak bisa saya kerjakan? Saya sepertinya cari-cari alasan cuma gara-gara tidak bisa menemukan huruf-huruf mana yang dapat dirangkai menjadi kata, kata-kata yang mana yang cocok untuk dijalin menjadi kalimat, kalimat-kalimat mana yang bermakna sehingga menjadi suatu alinea, dan alinea-alinea mana yang dapat dilem, disatukan menjadi satu kesatuan tulisan yang punya arti. Mengapa menjadi kebiasaan untuk menyalahkan orang lain, keadaan lain, kondisi lain sebelum kita melihat dulu apakah ada gajah di pelupuk yang lupa dikasih obat mata.

Justru dengan kondisi sekarang, dengan suami yang selalu memberi dukungan, dengan anak-anak yang selalu membuat senyum, tawa dan hati yang senang meski badan sedang cape dan ngantuk bukan kepalang, dengan segala limpahan cinta dan kasih sayang, dengan perut kenyang harusnya saya lebih produktif menulis. Harusnya saya bisa menulis apa saja yang melintas di pikiran maupun melintas di jalanan, bukan cuma masalah cinta dan patah hati.

Harusnya saya bisa menulis misalnya tentang badai-badai yang sedang rajin melanda negri ini. Kenapa badai diberi nama ? Apa perlunya menamai bandai dengan nama-nama cantik ? Apakah Katrina atau Lusi akan datang lagi? atau dia akan datang dengan nama yang lain ? Bahas dong badai dari sisi yang orang lain belum banyak membahas.

Six degree of separation, oxymoron, stellarium, late-talker, Timbuktu, korupsi yang sudah mendarah daging, adenium, form reader, apa lagi ? bukankah itu materi yang bagus buat ditulis. Ayo dong tulis ! Apa masih bergeming ? hehe.. kata 'bergeming' juga bisa tuh dibahas, secara dulu gue kira bergeming artinya bergerak. Setelah mengakui satu bahasa yaitu Bahasa Indonesia puluhan tahun, ternyata tahun 2007 bulan Maret saya baru tahu kalau bergeming artinya diam ! Bleh !... Gue yang selama ini salah kaprah atau salah beli buku bacaan ?? .... Dan, Indonesia, the country of contradiction, adalah materi yang gak bakal habis digali untuk ditulis, bukan cuma digali pasir dan granitnya buat bahan reklamasi Sentosa Island.

Biar kreatif menulis ternyata kita harus terus menulis. Apa saja.