Monday, May 21, 2007

Porta Nigra Penjahatnya ??

Kalau ada yang tanya di mana rumah saya, saya jawab di Meruya Selatan. Tapi, kalau merujuk Meruya Selatan sebagai kelurahan, jawaban saya tadi salah. Rumah saya ada di kelurahan Joglo. Saya bilang ada di Meruya Selatan karena kompleks perumahan saya persis di jalan Meruya Selatan.
Iya, saya bicara Meruya yang sama dengan Meruya yang beritanya jadi headline di media-media belakangan ini.

Kompleks saya 'nyaris' jadi korban sengketa tanah, karna memang letak kompleks dengan tanah sengketa cuma dipisah jalan Sa'aba. Rasanya gak percaya kalau di tanah sengketa sudah berdiri perumahan-perumahan milik pejabat, artis, pengusaha, orang-orang kaya atau pegawai pemerintah. Sudah bersertifikat, lagi. Aneh, kan.

Aneh memang, sudah pegang sertifikat resmi yang dikeluarkan negara, tapi tetap jadi pihak yang kalah yang dinyatakan oleh negara pula. Ini memang negara aneh.

Seperti Gubernur DKI, artis2, pengacara dll yang memberi simpati saya juga berikan simpati saya kepada tetangga-tetangga saya yang jadi korban. Saya juga memahami kalau mereka marah sama pihak yang menang. Tetangga-tetangga saya yang tanahnya mau dieksekusi itu bukan pihak yang bersengketa. Tahu tanahnya bersengketa juga baru ini aja. Kalau dulu tahu itu tanah sengketa, siapa mau beli ? Tapi kalau itu tanah sengketa, kenapa sertifikat bisa keluar ?

Sebaliknya, Porta Nigra kasihan juga. Dia udah beli tanah, taunya tanah yang dibeli dijual lagi sama mandornya, pas dinyatakan menang orang-orang pada nyerang dia. Nggak cuma orang-orang biasa, tapi pejabat-pejabat yang bertugas mengurus warga juga ikut menyerang. Porta Nigra juga warganegara Indonesia. Warganegara yang berusaha mendapatkan kepastian hukum atas barang yang dimilikinya. Jadinya … dia korban juga. Korban ketidakbecusan negara mengatur administrasi, korban ketidakpastian hukum yang seharusnya dijunjung tinggi di negara manapun juga.

Sebenarnyapun, dari dulu ke dulu, tanah kan itu itu aja. Ukurannya nggak bertambah atau berkurang secara signifikan kecuali terjadi penciutan diameter bumi yang menyebabkan ukuran luas tanah di permukaan bumi berkurang. Cuma kadang-kadang, kalau tetangga gak lihat, patok tanah digeser-geser jadi ukuran tanah tetangga berkurang (ini bukan nuduh loh karna dulu tanah keluarga saya juga ada yang gerogotin kayak gitu). Perkara sudah dijual, lalu dijual lagi juga bukan baru kali ini. Bisa jadi pihak pembeli misalnya si A menghubungi juragan atau mandor setempat minta dicariin tanah seluas X hektar, mandor dikasih lah duit Rp. sekian. Si mandor kontak penduduk buat jual tanah mereka. Waktu penduduk bilang oke, mandor ngga kasih duitnya. Si A beranggapan itu sudah jadi tanah dia. Karna penduduk nggak dapet dapet duit, waktu si B yang juga pembeli dateng, dijuallah tanahnya ke B. Buat penduduk ya sesederhana itu lah. Ada uang ada barang. Dari situ juga udah bisa ketauan yang nakal siapa.

Semua ini terjadi di negara yang begitu acakadutnya masalah administrasi dan hukum. Belum lagi orang-orang yang mancing di air keruh, kali-kali dapet ikan gabus besar yang bisa dibikin sayur pucung. Lurah, camat sampai gubernur berjuang sampai titik darah penghabisan bantuin warga. Secara emang warganya sebagian besar warga kelas menengah yang bisa ngomong, punya duit, punya pengaruh. Sampai ketua BPN bilang putusan berita sita jaminan dari Mahkamah Agung nggak sah. Yang sah yang seperti apa ya sampai putusan MA dibilang gak sah? Lalu Ketua Pengadilan Negeri yang bilang gak pernah keluarin perintah buat eksekusi. Iya, semua berebut simpati warga. Sedangkan Porta Nigra jadi penjahatnya. Semuanya jadi tidak jelas. Apa sertifikat rumah saya sebenarnya juga bermasalah ? Apa semua putusan MA yang nggak mengenakkan buat kita berarti itu putusan yang salah ? Ya inilah kalau tidak ada penghormatan atas hukum, karna hukum juga bisa dibeli. Apa kita tinggal di negara yang salah ?

Saya bukan anggota DPR atau DPRD yang bisa mendengarkan both sides atau many sides of story. Saya cuma dapat sepenggal dua penggal cerita di koran atau tivi. Tapi tolonglah orang DPR, DPRD, Utusan Golongan , orang-orang pintar di bidang Pertanahan, Administrasi dan Hukum dan lain-lain, tolonglah memberi solusi. Akuilah kalau memang Administrasinya bermasalah. Orang-orang Hukum, berilah keadilan seadil-adilnya. Bukan karena satu pihak lebih berkuasa, maka pihak yang lain dikalahkan. Bukan karena satu pihak uangnya banyak , maka pihak yang lain dibilang salah. Masalah tanah, masalah hukum adalah masalah yang berhubungan dengan Yang Di Atas. Kalau perlu, nonton deh sinetron-sinetron gimana orang mati gak bisa dikubur karena panjang liang lahat selalu kurang dibanding panjang jenasah, itu terjadi gara-gara waktu hidupnya main-main dengan urusan tanah. Atau orang mati gak ada yang mau masukin ke liang lahat karena banyak ular, kalajengking dan teman-temannya sedang berenang di air keruh di dalam liang lahat. Tuh ! Masih kurang serem ?? Gak tau lagi deh gue …..

Negara, akuilah ada kesalahan. Solusinya, nggak mungkin deh bedol desa di kawasan itu. Palingan juga, ya ini dari pikiran sederhana, warga nggak usah pergi, Porta Nigra dapet uang pengganti dari Negara yang nggak becus ngurusin tanah sejengkal dua jengkal. Kalaupun uang penggantinya nggak seharga tanah sekarang, mohonlah diterima karena pasti lebih banyak dari waktu dulu beli. Orang-orang yang bermasalah, main-main dengan tanah, yang cari-cari kesempatan tolonglah diproses dengan seadil-adilnya. Kita pingin semua senyum lega. Yang berhak dapat haknya, yang salah dan korupsi dikasih kavlingnya di penjara.
Semua senang ?? ……

1 comment:

Denny said...

thx tulisannya kurang lebih menambah referensi saya :-)

review blog saya yaa http://dennyjuzaili.wordpress.com